NAMA : YULIANA
NPM : 21209827
KELAS : 4EB13
Lingkungan bisnis yang mempengaruhi
Perilaku Etika
Etika bisnis merupakan pola bisnis yang tidak
hanya peduli pada profitabilitasnya saja, tapi juga memerhatikan kepentingan
stakeholder-nya. Etika bisnis tidak bisa terlepas dari etika personal,
keberadaan mereka merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya
saling melengkapi. Etika bisnis sesorang merupakan perpanjangan moda-moda
tingkah lakunya atau tindakan-tindakan konstan, yang membentuk keseluruhan
citra diri atau akhlak orang itu. Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari
prinsip etika yang diterapkan dalam dunia bisnis. Istilah etika bisnis
mengandung pengertian bahwa etika bisnis merupakan sebuah rentang aplikasi
etika yang khusus mempelajari tindakan yang diambil oleh bisnis dan pelaku
bisnis.
Bisnis melibatkan
hubungan ekonomi dengan banyak kelompok orang yang dikenal sebagai
stakeholders, yaitu: pelanggan, tenaga kerja, stockholders, suppliers, pesaing,
pemerintah dan komunitas. Oleh karena itu para pebisnis harus
mempertimbangkan semua bagian dari stakeholders dan bukan hanya stockholdernya
saja. Pelanggan, penyalur, pesaing, tenaga kerja dan bahkan pemegang saham
adalah pihak yang sering berperan untuk keberhasilan dalam berbisnis.
Lingkungan bisnis yang mempengaruhi etika adalah lingkungan makro dan
lingkungan mikro. Lingkungan makro yang dapat mempengaruhi kebiasaan yang tidak
etis yaitu bribery, coercion, deception, theft, unfair dan
discrimination. Maka dari itu dalam perspektif mikro, bisnis harus percaya
bahwa dalam berhubungan dengan supplier atau vendor, pelanggan dan tenaga kerja
atau karyawan.
Dengan adanya moral dan
etika dalam dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya,
kita yakin jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala
dalam menghadapi era globalisasi dapat diatasi. Moral merupakan sesuatu yang
mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu
(sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu
kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan
serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis
sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis
serta kelompok yang terkait lainnya.
Dunia bisnis, yang
tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi
mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini,
untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara
semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar
jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain
berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang
tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang
disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi,
jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya
kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang
bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun
dalam perekonomian.
Kesaling
- tergantungan antara Bisnis dan Masyarakat
Mungkin ada sebagian
masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi
masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena
urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat.
Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya
etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri.
Perusahaan juga sebuah
organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada
banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya.
Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya
penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun
personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan
sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan,
demi kepentingan perusahaan itu sendiri Oleh karena itu kewajiban perusahaan
adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi masyarakat.
Ada dua pandangan tanggung jawab sosial yaitu pandangan klasik dan
pandangan sosial ekonomi. Pertama, tanggung jawab sosial pada
pandangan klasik adalah
bahwa tanggung jawab sosial manajemen hanyalah memaksimalkan laba (profit
oriented). Pada pandangan ini manajer mempunyai kewajiban menjalankan bisnis
sesuai dengan kepentingan terbesar pemilik saham karena kepentingan pemilik
saham adalah tujuan utama perusahaan. Kedua, pada pandangan sosial ekonomi,
bahwa tanggung jawab sosial manajemen bukan sekedar menghasilkan laba, tetapi
juga mencakup melindungi dan meningkatkan kesejahteraan social. Pada pandangan
ini berpendapat bahwa perusahaan bukan intitas independent yang bertanggung
jawab hanya terhadap pemegang saham, tetapi juga terhadap masyarakat.
Dalam menciptakan etika
bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain yaitu
pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab social (social responsibility),
mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi, menciptakan persaingan yang sehat,
menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”, menghindari sifat 5K
(katabelence, kongkalikong, koneksi, kolusi dan komisi), mampu menyatakan yang
benar itu benar, menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha
kuat dan golongan pengusaha kebawah, konsekuen dan konsisten dengan aturan main
yang telah disepakati bersama, menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki
terhadap apa yang telah disepakati.
Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etika
Korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan
sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni
Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit
birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah
terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai
tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok
untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman,
implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis
dan para elit politik. Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis
berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama
ini masih cenderung pada sisi “emosional” saja dan terkadang mengkesampingkan
konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup
luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan,
segmen pasar konvensional, meski tidak “mengenal” sistem syariah, namun
potensinya cukup tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana
mengakui beberapa pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika
bisnis tersebut. Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha
mengenai etika bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda
pula, Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang
sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun
seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika dan
moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh
kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau
sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah.
Baswir (2004) berpendapat bahwa
pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan
bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun
masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di
negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati
hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara
batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral
adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum
adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan.
Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan
moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan
wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa
membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah
etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum.
Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih
didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar
hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya
dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak
asasi manusia.
Perkembangan dalam Etika Bisnis
Adapun perkembangan etika bisnis, yaitu yang
pertama, situasi dahulu. Pada awal sejarah filsafat, plato, aristoteles, dan
filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan
manusia bersama dalam Negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan
kegiatan niaga harus diatur.
Kedua, masa peralihan tahun 1960-an, ditandai
pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi
mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan).
Hal ini member perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu
dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and
Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social
responsibility.
Ketiga, etika bisnis lahir di AS tahun 1970-an. Sejumlah
filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis sekitar bisnis dan
etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang
sedang meliputi dunis bisnis di AS.
Keempat, etika bisnis meluas ke Eropa tahun
1980-an. Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang
kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademis dari
Universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network
(EBEN).
Kelima, etika bisnis menjadi fenomena global tahun
1990-an. Tidak terbatas lagi pada dunia barat. Etika bisnis sudah dikembangkan
di seluruh dunia. Telag didirikan Intenational Society for Business, Economics,
and Ethics (ISBEE) pada 25-28Juli 1996 di Tokyo.
Etika Bisnis dan Akuntan
Dalam
menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik
profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan
Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan
pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi
dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat
atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya,
tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian
pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Akuntansi
sebagai profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan
mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai
profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan
mengutamakan integritas. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan
bebarapa kasus serupa lainnya telah membuktikan bahwa etika sangat diperlukan
dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi
dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung
jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder.
Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat
merugikan. Banyak orang yang menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan
bahwa, bisnis tidak memerlukan etika.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar